Hak Isteri Tidak Mentaati Suaminya Dalam Kemaksiatan
HAK ISTERI
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
4. JANGAN MENGHALANGINYA UNTUK PERGI KE MASJID
Al-Kirmani berkata: “Hal itu diperbolehkan jika aman dari fitnah.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya rahimahullah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَلاَ يَمْنَعْهَا.
“Jika isteri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka janganlah menghalanginya.”[1]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Isteri ‘Umar biasa mengikuti shalat Shubuh dan ‘Isya’ secara berjama’ah di masjid, maka ditanyakan kepadanya (yakni ‘Umar bertanya kepada isterinya): ‘Mengapa engkau melakukan demikian, padahal engkau tahu bahwa ‘Umar tidak menyukai hal itu dan cemburu?’ Ia balik bertanya: ‘Apa yang menghalanginya untuk mencegahku?’ ‘Umar menjawab: ‘Ia dihalangi oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.
‘Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah.’”[2]
Imam an-Nawawi berkata: “Menurut al-Baihaqi, jawaban dari hadits: ‘Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah,’ bahwa ini adalah larangan yang bersifat tanzih, karena hak suami agar isteri tetap berada di rumah adalah wajib. Maka ia (wanita) tidak boleh meninggalkannya untuk amalan sunnah (fadhilah).”[3]
5. TIDAK MENGETUK PINTU RUMAH MEREKA (PARA WANITA) PADA MALAM HARI JIKA TELAH LAMA BEPERGIAN
Jika suami bepergian atau selainnya dan ingin kembali, maka janganlah mengetuk pintu rumahnya pada malam hari, dan ia harus memberitahukan kepada mereka mengenai waktu kedatangannya; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir bin ‘Abdillah. Ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ، فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً.
‘Jika salah seorang dari kalian telah lama bepergian, maka janganlah ia mengetuk (pintu rumah) isterinya pada malam hari.”[4]
Al-Bukhari meriwayatkan juga dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai seseorang mendatangi keluarganya pada malam hari.”[5]
Penyebabnya, wahai saudaraku yang budiman, agar dia tidak menuduhnya berkhianat. Disebutkan dalam riwayat Waki’ dari Sufyan ats-Tsauri, dari Muharib, dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang pria mengetuk pintu rumah isteri-nya pada malam hari, untuk menuduh mereka berkhianat dan mencari kesalahan mereka.”[6]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Disebutkan dalam riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi dari hadits Jabir:
لاَ تَلِجُوْا عَلَى الْمُغِيْبَاتِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ.
‘Janganlah mendatangi wanita-wanita yang ditinggal pergi. Sebab, syaitan itu mengalir dalam diri manusia melalui aliran darah.’”[7]
Muslim meriwayatkan dari hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi keluarganya pada malam hari. Beliau biasa datang pada waktu pagi atau petang.[8]
Sebab Larangan:
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَيْ تَسْتَحِدَّ الْمُغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةَ.
“Agar wanita yang ditinggal pergi bisa mencukur bulu kemaluan dan menyisir rambut yang kusut.”[9]
Karena itu, ‘Umar meriwayatkan bahwa tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari suatu peperangan, beliau bersabda: “Janganlah mendatangi isteri pada waktu malam, dan utuslah orang yang meng-umumkan kepada orang-orang bahwa mereka sudah datang.”[10]
Barangsiapa yang menyelisihi perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana yang terjadi pada ‘Abdullah Radhiyallahu anhu. Dari Jabir Radhiyallahu anhu, bahwa ‘Abdullah bin Rawahah datang kepada isterinya pada malam hari, sementara di sisi isterinya ada seorang wanita yang sedang menyisirnya. Ia mengiranya seorang pria sehingga ia mengacungkan pedang kepadanya. Ketika ia menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau melarang laki-laki datang kepada isterinya pada malam hari.[11]
Al-Bukhari meriwayatkan, dalam bab Tastahidul Mughiibah wa Tamsyithusy Sya’itsah (Wanita yang Ditinggal Pergi Mencukur Bulu Kemaluannya dan Menyisir Rambut yang Kusut), hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan. Ketika kami telah sampai di dekat Madinah, maka aku mempercepat untaku yang (tadinya) berjalan lambat, lalu seorang penunggang menyusulku dari belakang. Lalu ia pun menusuk untaku dengan tombak kecil yang ia bawa, maka untaku pun berlari, secepat larinya unta (terbaik) yang engkau lihat. Maka aku pun menoleh, ternyata aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, aku adalah pengantin baru.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab: ‘Sudah.’ Beliau bertanya: ‘Gadis atau janda?’ Aku menjawab: ‘Janda.’ Beliau mengatakan: ‘Mengapa tidak dengan gadis, sehingga engkau dapat bermain-main dengannya, dan dia bermain-main denganmu?’ Ketika kami sampai, kami pergi untuk masuk (rumah), maka beliau bersabda: ‘Tundalah, sehingga kalian memasuki malam -yakni waktu ‘Isya’- agar rambut yang kusut disisir dan wanita yang ditinggal pergi mencukur buku kemaluannya.’”[12]
Di masa ini, manusia kadang terpaksa pulang dari perjalanan pada malam hari, misalnya bepergian pada malam hari dengan pesawat terbang pada penerbangan malam hari, atau suatu pekerjaan. Ketika itu, dia dapat memberitahukan kepada keluarganya tentang waktu kedatangannya pada malam hari, sehingga ia bersiap untuk menyambut kedatangannya. Dengan hal itu, hilanglah sebab yang karenanya larangan disinyalir.
6. DI ANTARA HAK ISTERI ADALAH, TIDAK MENTAATI (SUAMI)NYA DALAM KEMAKSIATAN DAN TIDAK PULA SUAMI MEMERINTAHKANNYA KEPADA KEMAKSIATAN
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang wanita dari Anshar menikahkan puterinya lalu rambut kepalanya rontok karena sakit. Kemudian dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan hal itu kepada beliau sambil mengatakan: “Suaminya menyuruhku agar aku menyambung rambutnya.” Maka beliau bersabda:
لاَ، إِنَّهُ قَدْ لُعِنَ الْمُوْصِلاَتُ.
“Tidak boleh, sesungguhnya para wanita yang menyambung rambutnya telah dilaknat.”[13]
Ibnu Hajar berkata: “Seandainya suami mengajaknya kepada kemaksiatan, maka ia harus menolaknya. Jika suami menghukum-nya karena menolaknya, maka suaminya berdosa.”
Demikian pula seandainya suami memerintahkannya agar melepas hijabnya, sebagaimana yang dilakukan oleh dayyuuts (laki-laki yang tidak memiliki rasa cemburu). Jika dia memerintahkannya agar melepas hijab dan hal selain itu dari perkara yang diharamkan atau hal yang pelakunya akan mendapatkan laknat dan siksa dari Allah, maka ia wajib menolaknya. “Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”
7. ISTERI MEMPUNYAI HAK UNTUK CEMBURU TERHADAP SUAMINYA. OLEH KARENA ITU, SUAMI HARUS BERSABAR DALAM HAL ITU
Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Sesungguhnya aku tahu ketika engkau ridha kepadaku dan ketika engkau marah kepadaku.” Aku bertanya, “Dari mana engkau mengetahui hal itu?” Beliau menjawab: “Jika engkau ridha kepadaku, maka engkau mengatakan: ‘Tidak, demi Rabb Muhammad.’ Sedangkan jika engkau marah kepadaku, maka engkau mengatakan: ‘Tidak, demi Rabb Ibrahim.`” Aku mengatakan: “Benar, demi Allah, wahai Rasulullah! Aku tidak menolak menyebutkan nama, kecuali namamu.”[14]
Al-Bukhari meriwayatkan juga dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menga-takan: “Aku tidak cemburu kepada seorang pun dari isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana aku cemburu terhadap Khadijah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering menyebut-nyebut namanya dan memujinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberi wahyu agar memberi kabar gembira kepada Khadijah, berupa sebuah rumah untuknya di Surga yang terbuat dari emas dan perak.”[15]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah salah seorang isterinya (dalam sebuah riwayat: ‘Aisyah). Lalu salah seorang dari Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) datang kepada beliau dengan membawa sepiring makanan. Kemudian sang isteri yang beliau berada di dalam rumahnya memukul tangan pelayan, sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring kemudian mengumpulkan makanan yang sebelumnya berada di piring tersebut, seraya bersabda: ‘Ibu kalian cemburu, ibu kalian cemburu.’ Kemudian beliau menahan pelayan itu, sehingga membawa sebuah piring milik sang isteri yang mana beliau berada di dalam rumahnya. Kemudian beliau memberikan piring tersebut kepada sang isteri yang piringnya dipecahkan, dan menahan piring yang dipecahkan di rumah (tempat) di mana piring itu pecah.[16]
Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h: Ghairah (kecemburuan) pada dasarnya adalah sifat bawaan wanita, namun jika keterlaluan dan berlebihan dalam hal itu, maka dia menjadi tercela. Ini ditegaskan oleh apa yang disinyalir dalam hadits lainnya dari Jabir bin ‘Utaik al-Anshari secara marfu’, bahwa di antara rasa cemburu itu ada yang disukai oleh Allah dan ada yang dibenci oleh-Nya. Adapun cemburu yang disukai Allah adalah cemburu dalam perkara yang buruk. Sedangkan cemburu yang dibenci Allah adalah cemburu dalam selain perkara yang buruk. Perincian ini dikhususkan untuk laki-laki, karena wanita dilarang memiliki dua orang suami dengan cara yang halal. Adapun kecemburuan wanita kepada suaminya karena melakukan perbuatan haram, baik berzina misalnya, maupun mengurangi haknya dan berbuat aniaya terhadapnya karena madunya (isteri keduanya) dan melebihkannya (isteri keduanya) terhadapnya, maka wanita tersebut berhak cemburu karena hal itu.”[17]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5238) kitab an-Nikaah, Muslim, (no. 442) kitab ash-Shalaah, at-Tirmidzi (no. 570) kitab al-Jumu’ah, an-Nasa-i (no. 706) kitab al-Masaajid, Ibnu Majah (no. 16) kitab al-Muqaddimah, Ahmad (no. 4508), ad-Darimi (no. 442) kitab al-Muqaddimah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 900) kitab al-Jumu’ah. Wanita tersebut ialah ‘Atikah binti Zaid bin ‘Amr bin Nufail, saudara perempuan Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail, salah seorang dari sepuluh Sahabat yang diberi kabar gembira pasti masuk Surga. Juga dalam Muslim (no. 442) kitab ash-Shalaah, at-Tirmidzi (no. 570) kitab al-Jumu’ah, an-Nasa-i (no. 706) kitab al-Masaajid, Ahmad, (no. 4542, ad-Darimi (no. 1278) kitab ash-Shalaah.
[3]. Majmuu’ Syarhil Muhadzdzab (IV/95), terbitan Syaikh Zakaria ‘Ali Yusuf.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 5244) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 715) kitab al-Imaarah.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 5243) kitab an-Nikaah.
[6]. HR. Muslim (no. 715) kitab al-Imaarah.
[7]. Fat-hul Baari (IX/340).
[8]. HR. Muslim (no. 185) kitab azh-Zhihaar.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5254) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 715) kitab al-Imaarah.
[10]. Disebutkan oleh al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/340), dan ia mengatakan: “Hadits ini disebutkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahiihnya.”
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 5244) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 715) kitab al-Imaarah.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 5245) kitab an-Nikaah.
[13]. Telah disebutkan takhrijnya.
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 5228) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2439) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 22885).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 3817) kitab al-Manaaqib, Muslim (no. 2435) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, at-Tirmidzi (no. 3875) kitab al-Manaaqib, Ibnu Majah, (no. 1998) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 23789).
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5225) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1359) kitab al-Ahkaam, an-Nasa-i (no. 3955) kitab ‘Isyratun Nisaa’, Abu Dawud (no. 3567) kitab al-Buyuu’, Ibnu Majah, (no. 2334) kitab al-Ahkaam, Ahmad (no. 11616), ad-Darimi (no. 2598) kitab al-Buyuu’.
[17]. Al-Fat-h (IX/237).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2139-diantara-hak-isteri-adalah-tidak-mentaati-suaminya-dalam-kemaksiatan.html